Minggu, 11 November 2012

Kebijakan Pengelolaan Geothermal di Indonesia


Sesuai dengan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025, arah kebijakan energi di Indonesia adalah
a.       Konservasi energi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi di sisi suplai dan pemanfaatan (Demand Side).
b.      Diversifikasi energi untuk meningkatkan pangsa energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional.
Sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, energi panas bumi termasuk dalam Rencana Induk Diversifikasi Energi Nasional (RIDEN), yaitu salah satu energi terbarukan. Potensi panas bumi di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dan  mencapai 29.038 MW (Badan Geografi tahun 2010). Dari potensi sebesar itu, baru 2,2 % atau sekitar 645 MW yang telah dimanfaatkan pemerintah melalui pembangkit tenaga listrik tenaga panas bumi (PLTP). Untuk memanfaatkan potensi panas bumi di Indonesia, Pemerintah menargetkan pengembangan PLTP pada Program Percerpatan 10.000 MW Tahap II s.d. tahun 2014, yang meliputi Pengembangan Lapangan Eksisting yang Sudah Bereproduksi sebesar 645 MW, Pengembangan Lapangan Eksisting yang Belum Bereproduksi sebesar 1.535 MW, dan Pengembangan WKP Baru sebesar 1.787 MW. Dengan demikian total Pengembangan Panas Bumi mencapai 3.967 MW.
Untuk mewujudkan pengembangan industri dalam negeri dalam pengelolaan panas bumi, melalui Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pemerintah menetapkan Program Prioritas Nasional Pemerintah di bidang energi yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang RPJMN 2010-2014, yaitu Pengembangan Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Skala Kecil. 
Dalam hal ini, pemerintah mengusahakan pengembangan PLTP berkapasitas 5 Mw dengan mendorong industri manufaktur dalam negeri untuk meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).  PLTP skala kecil ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan daerah yang kaya sumber panas bumi, namun masih menggantungkan sumber listriknya dari energi fosil, seperti di NTB, NTT, Maluku, dan Maluku Utara. Pada daerah-daerah tersebut, PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) merupakan sumber pembangkit listrik utama dengan total kapasitas mencapai 200 Mw. Dengan adanya program ini, PLTD pun disubstitusi dengan PLTP skala kecil sehingga mampu menghemat penggunaan BBM lebih dari Rp1,1 triliun/tahun. Keberhasilan pengembangan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan PLTP skala kecil di Indonesia yang sangat tinggi.
Pemerintah melalui BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) juga sedang mengembangkan PLTP skala kecil berkapasitas 3 Mw dimana seluruh proses pembangunan sampai dengan komponennya dilakukan secara masimal di dalam negeri. Pembinaan terhadap industri manufaktur oleh pemerintah juga diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect dalam pengembangan industri komponen skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan kluster industri besar tersebut. 
Selain dilakukan secara mandiri, pemerintah juga melakukan kerjasama dengan pihak negara lain, seperti Jerman dan Selandia Baru untuk mengembangkan potensi panas bumi ini. Melalui kerja sama dengan pihak Jerman, PLTP mengembangkan binary cycle dengan kapasitas maksimum 1 Mw sistem modular melalui tahapan pengembangan prototipe PLTP binary cycle 2 Kw dan pilot plant PLTP binary cycle 100 Kw. Sedangkan kerja sama dengan pihak Selandia Baru yang dilakukan tanggal 17 April lalu, meliputi 
a.          Pembangunan laboratorium panas bumi yang dioperasikan secara bersama,
b.          Penelitian bidang geologi, geofisika dan cadangan regional bersama,
c.           Bantuan implementasi acid brine treatment di lapangan Lahendong,
d.          Bantuan peningkatan kualitas SDM PT. PGE yang meliputi pelatihan dan pendidikan lebih lanjut di Universitas Auckland, dan
e.           Memfasilitasi kerjasama antara perusahaan panas bumi Indonesia dengan Selandia Baru.
Kedepannya, diharapkan Indonesia mampu memanfaatkan energi panas bumi sampai kapasitas 12.000 MW. Selain itu, target pembauran energi sebesar 25 % pada tahun 2025 juga menjadi dorongan bagi pemerintah melalui Kementrian ESDM untuk terus melakukan upaya untuk mencapai target tersebut. 
Pengelolaan energi panas bumi melibatkan pemerintah pusat, daerah, dan kabupaten/kota. Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi antara lain sebagai berikut (Pasal 5 UU No. 27 Tahun 2003).
  1. Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan Panas Bumi.
  2. Pembuatan kebijakan nasional.
  3. Pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi pada wilayah lintas provinsi.
  4. Pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi pada wilayah lintas provinsi.
  5. Pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi.
  6. Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi nasional.
Kewenangan provinsi dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi antara lain sebagai berikut (Pasal 6 UU No. 27 Tahun 2003).
  1. Pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi.
  2. Pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota.
  3. Pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota.
  4. Pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota.
  5. Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di provinsi.
Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi hal-hal sebagai berikut (Pasal 7 UU No. 27 Tahun 2003).
  1. Pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota.
  2. Pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota.
  3. Pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota.
  4. Pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi dikabupaten/kota.
  5. Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di kabupaten/kota.
  6. Pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di kabupaten/kota.
Kebijakan-kebijakan Pemerintah tentang Panas Bumi antara lain dituangkan dalam beberapa regulasi yang berhubungan dengan Pengusahaan Panas Bumi di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
  1. UU No 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
Undang-undang panas bumi mencakup ketentuan mengenai kewenangan pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, wilayah kerja, kegiatan operasional dan pengusahaan, penggunaan lahan, perizinan, hak dan kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Panas Bumi, penerimaan negara, pembinaan dan pengawasan.
  1. UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi
Sesuai dengan Pasal 1, panas bumi merupakan sumber energy terbarukan. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelala dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisar, laut.
  1. UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
  2. PP No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi
Sesuai dengan PP No. 59 Tahun 2007 jo. UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, pemerintah menetapkan bahwa kegiatan usaha panas bumi mencakup survei pendahuluan, eksplorasi, studi kelayakan, eksploitasi dan pemanfaatan, yaitu sebagai berikut.
1)      Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan  geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya sumber daya Panas Bumi serta  Wilayah Kerja.
2)      Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi,  geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang  bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah  permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan potensi Panas Bumi.
3)      Studi  Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi  untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk  menentukan kelayakan usaha pertambangan Panas Bumi, termasuk penyelidikan atau  studi jumlah cadangan yang dapat dieksploitasi.
4)      Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu  yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan  fasilitas lapangan dan operasi produksi sumber daya Panas Bumi.
5)      Pemanfaatan langsung adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi dan/atau  fluida Panas Bumi untuk keperluan nonlistrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri.
6)      Pemanfaatan tidak langsung untuk tenaga listrik adalah kegiatan usaha  pemanfaatan energi panas pumi untuk pembangkit tenaga listrik, baik untuk  kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri.
  1. PP No. 62 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerah-daerah tertentu.
  2. Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2010 tentang Penugasan Kepada PT. PLN (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Baru Terbarukan, Batubara, dan Gas.
Di tingkat pusat, terdapat peran dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Keuangan. Sehubungan dengan Pengusahaan Panas Bumi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan beberapa kebijakan yang dituangkan dalam peraturan-peraturan berikut.
  1. Permen ESDM No. 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kerta Pertambangan (WKP) Panas Bumi
  2. Permen ESDM No. 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi (sebagai perubahan atas Permen ESDM No. 05 Tahun 2007).
  3. Permen ESDM No. 05 Tahun 2009 tentang Pedoman Harga Pembelian Listrik oleh PT. PLN dari Koperas atau Badan Usaha Lain (sebagai perubahan atas Permen ESDM No. 14 Tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Listrik dari PLTP jo. Permen ESDM No. 269-12 Tahun 2008 tentang BPP Tenaga Listrik Tahun 2008 yang Disediakan oleh PT. PLN).
  4. Permen EDSM No. 11 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi
  5. Permen ESDM No. 31 Tahun 2009 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT. PLN (Persero) Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik
  6. Permen ESDM No. 32 tahun 2009 tentang Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT. PLN (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
  7. Permen ESDM No. 15 Tahun 2010 tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Baru Terbarukan, Batubara, dan Gas serta Transmisi Terkait
Peraturan Menteri Keuangan berperan dalam merumuskan kebijakan fiskal. Agar harga jual listrik ke masyarakat tetap murah Menteri Keuangan mengeluarkan beberapa kebijakan yang dituangkan dalam peraturan-peraturan berikut sebagai  peraturan pelaksana PP No. 1 Tahun 2007 jo. PP No. 62 Tahun 2008.
  1. PMK No. 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi.
  2. PMK No. 021/PMK.011/2010 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan
  3. PMK No. 024/PMK.011/2010 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi serta Kegiatan Usaha Eksplorasi Panas Bumi untuk Tahun Anggaran 2010.
  4. PMK Nomor 01/PMK.07/2012 Tentang Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam  Pertambangan Panas Bumi Tahun Anggaran 2012
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam energi panas bumi (geothermal) perlu adanya kerja sama lintas sektor agar kebijakan yang telah disusun dapat berjalan sesuai dengan harapan, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah tingkat Provinsi, Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten, Badan Usaha-badan usaha, para Investor, dan menjalin mitra dengan luar negeri.

Referensi  :
Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 sesuai Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006. Jakarta. 2006

Daftar Peraturan Panas Bumi di Indonesia. 2012. http://www.scribd.com/doc/34391788/DAFTAR-PERATURAN-PANAS-BUMI-DI-INDONESIA-2012 [diakses tanggal 9 November 2012]

Harsoprayitno, Sugiharto. 2010. Overview of Indonesian Laws. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Permatasari, Luluk. 2012. Pengelolaan Potensi Panas Bumi oleh Pemerintah. On-line. http://bem.feb.ugm.ac.id/index.php/publication/kajian/63-pengelolaan-potensi-panas-bumi-oleh-pemerintah [diakses pada tanggal 9 November 2012]

Saptadji, Nenny Miryani. 2011. Kebijakan Bidang Panas Bumi. Program Studi Magister Akademik Berorientasi Terapan Teknik Panas Bumi FTTM – ITB. On-line. http://majalahenergi.com/kebijakan/kebijakan-bidang-panas-bumi [diakses pada tanggal 9 November 2012]

Kebijakan Pengelolaan Minyak Bumi dan Gas


Salah satu sumberdaya alam di Indonesia adalah minyak bumi dan gas bumi. Minyak dan gas bumi (MIGAS) termasuk salah satu energi tak terbarukan. Dalam UU No. 30 Tahun 2007, minyak bumi dan gas bumi termasuk dalam Rencana Induk Energi Konvensional/Fosil, yaitu Kebijakan Energi Klasteral.
Sesuai dengan Ayat 1 Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bahwa Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana (Ayat 3).
Pengelolaan minyak dan gas bumi melibatkan pemerintah pusat, daerah, dan kabupaten/kota. Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan MIGAS antara lain sebagai berikut.
  1. Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang MIGAS, baik tentang teknis maupun non teknis. Misalnya Permen ESDM No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Minyak Bumi pada Sumur Tua.
  1. Pembuatan kebijakan nasional. Misalnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Migas mengeluarkan peraturan  tentang pendistribusian tertutup LPG Tertentu. LPG Tertentu adalah LPG tabung 3 Kg yang merupakan bahan bakar yang mempunyai kekhususan karena kondisi Tertentu seperti pengguna/ penggunaannya, kemasannya, volume dan/atau harganya yang masih harus diberikan subsidi.
  2. Pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan MIGAS pada wilayah lintas provinsi, misalnya untuk pipa-pipa penyaluran gas yang melewati lintas provinsi.
  3. Pemberian izin dan pengawasan pertambangan MIGAS pada wilayah lintas provinsi.
  4. Pengelolaan informasi geologi dan potensi MIGAS.
  5. Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan MIGAS nasional.
Kewenangan provinsi dalam pengelolaan pertambangan MIGAS antara lain sebagai berikut.
  1. Pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang MIGAS. Misalnya, Pemerintah Daerah Provinsi mencantumkan dalam RTRW-nya tentang daerah-daerah mana saja yang meupakan daerah pertambangan MIGAS.
  2. Pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan dan pendistribusian MIGAS di wilayah lintas kabupaten/kota.
  3. Pemberian izin dan pengawasan pertambangan dan pendistribusian MIGAS di wilayah lintas kabupaten/kota. Misalnya Satuan Kerja Perangkat Daerah menerbitkan Surat Rekomendasi untuk pembelian BBM jenis tertentu dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan BBM jenis tertentu sesuai peruntukannya.
  4. Pengelolaan informasi geologi dan potensi MIGAS di wilayah lintas kabupaten/kota.
  5. Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan MIGAS di provinsi.
Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan MIGAS meliputi hal-hal sebagai berikut.
  1. Pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan MIGAS di kabupaten/kota. Misalnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mencantumkan daerah-daerah pertambangan minyak bumi dan gas di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)-nya.
  2. Pembinaan dan pengawasan pertambangan dan pendistribusian MIGAS di kabupaten/kota.
  3. Pemberian izin dan pengawasan pertambangan dan pendistribusian MIGAS di kabupaten/kota.
  4. Pengelolaan informasi geologi dan potensi MIGAS dikabupaten/kota.
  5. Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan MIGAS di kabupaten/kota, misalnya melalui pembuatan dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) yang dibuat setiap tahun.
  6. Pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di kabupaten/kota, misalnya merekrut karyawan dari penduduk yang bermukim disekitar industri MIGAS.
Konsumsi minyak bumi Indonesia terus meningkat dan tidak sebanding dengan produksi minyak bumi dalam negeri serta harga minyak dunia (Kementerian ESDM, 2007). Selengkapnya dapat disajikan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Grafik Produksi vs Konsumsi Minyak Bumi Indonesia

Menipisnya cadangan minyak mendorong pemerintah melakukan percepatan perubahan paradigma penggunaan energi di antaranya pemanfaatan gas untuk kebutuhan energi domestik meliputi gas untuk listrik dan industri pupuk domestik, program konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg dan pengembangan gas kota. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengalokasian minyak bumi ke depan, kebijakan pemerintah antara lain sebagai berikut.
a.       Pemanfaatan gas bumi diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri dengan tetap mempertimbangkan keekonomian pengembangan lapangan.
b.      Mendorong konsumen gas domestik untuk membeli gas dengan harga keekonomian.
c.       Alokasi pemanfaatan cadangan gas bumi yang baru diketemukan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan setempat. Apabila terdapat kelebihan, pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan pemanfaatan gas bumi untuk ekspor, akan tetapi mensyaratkan komitmen investor untuk berkontribusi dalam pengembangan infrastruktur atau pengembangan migas domestik. Mengenai kebijakan pengalokasian gas untuk domestik (DMO) secara eksplisit tidak hanya untuk bagian kontraktor, tetapi juga ditujukan untuk gas bagian pemerintah.
d.      Perubahan eksplorasi Migas dari daerah Barat ke daerah Timur Indonesia.
e.       Perubahan penemuan eksplorasi yang besar dari minyak bumi ke gas bumi.
f.       Perubahan dari ekspor ke pemenuhan kebutuhan domestik dan Perubahan dari Revenue Engine menuju Growth Engine.
g.      Melakukan perbaikan strategi pemeliharaan sehingga mengurangi terjadinya unplanned shutdown (termasuk memperhatikan terjadinya monsoon), melakukan sinkronisasi periode planned shutdown antara KKKS dengan user (terutama untuk produksi gas).
h.      Mengupayakan produksi migas dari sumur-sumur tua.
i.        Menyelesaikan tumpang tindih lahan dengan Menteri Kehutanan dan instansi terkait.
Pemerintah juga merumuskan beberapa kebijakan lainnya, antara lain dituangkan dalam regulasi berikut.
  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi.
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya OperasiYang Dapat Dikembalikan Dan PerlakuanPajak Penghasilan Di Bidang Usaha HuluMinyak Dan Gas Bumi.
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi.
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 35Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
  6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2005 Tentang PerubahanAtas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
  7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004 Tentang KegiatanUsaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009.
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2005 tanggal 16 November 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2009.
  11. Permen ESDM No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Minyak Bumi pada Sumur Tua.
a.       Permen ESDM No. 2 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Minyak dan Gas Bumi dalam Negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama
b.      Permen ESDM No. 3 Tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengembalian Bagian Wilayah Kerja yang Tidak Dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama dalam Rangka Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi.
c.       Permen ESDM No. 15 Tahun 2008 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Mengenai Sistem Transportasi Cairan untuk Hidrokarban dan Standar Nasional Indonesia Mengenai Sistem Perpipaan Transmisi dan Distribusi Gas sebagai Standar Wajib.
d.      Permen ESDM No. 5 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional.
e.       Permen ESDM No. 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Sistem Pendistribusian Tertutup Bahan Bakar Minyak tertentu Jenis Minyak Tanah untuk Keperluan Rumah Tangga dan Usaha Kecil.
f.       Permen ESDM No. 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
g.      Permen ESDM No. 12 Tahun 2012 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak.
h.      Permen ESDM No. 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Metodologi dan Formula Harga Minyak Mentah Indonesia.
i.        Permen ESDM No. 27 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 16 Tahun 2011 tentang Penyaluran Bahan Bakar Minyak.
j.        PMK No. 8/PMK.07/2012 tentang Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak Bumi Dan Gas Bumi Tahun Anggaran 2012.
  1. Keputusan Menteri ESDM Nomor 3053K/12/MEM/2011 tentang Perubahan AtasKeputusan Menteri ESDM Nomor 0219K/12/MEM/2010 Tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Minyak dan HargaIndeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofue) yang Dicampurkan Kedalam Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
  2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang PeningkatanProduksi Minyak Bumi Nasional.
  3. Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun2012 Tentang Perubahan Atas PeraturanMenteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Daftar Proyek-Proyek PercepatanPembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan,Batubara Dan Gas Serta Transmisi Terkait.
  4. Peraturan Menteri ESDM Nomor 05 Tahun2012 Tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi Non Konvensional.

Referensi  :
Anonim. 2011. Kebijakan Pengalokasian Gas Bumi ke Depan. On-line. http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/5215-kebijakan-pengalokasian-gas-bumi-ke-depan.html [diakses tanggal 9 November 2012]

Anonim. 2012. Ada Perubahan Kebijakan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Pemerintah. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. On-line. http://www.feb.undip.ac.id/index.php/arsip-berita/48-berita-baru/598-ada-perubahan-kebijakan-pengelolaan-minyak-dan-gas-bumi-pemerintah [diakses tanggal 9 November 2012]

Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 sesuai Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006. Jakarta. 2006

Kementerian ESDM. Sosialisasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain di Padang 4 November 2010

Daftar Peraturan MIGAS di Indonesia. 2012. http://www.scribd.com/doc/34391788/DAFTAR-PERATURAN-MIGAS-DI-INDONESIA-2012 [diakses tanggal 9 November 2012]