Senin, 19 Agustus 2013

Budaya Hukum Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah Terhadap Pencemaran Air Limbah Batik Kota Pekalongan



Dampak Limbah Batik Pekalongan
Dampak limbah batik terhadap lingkungan telah menimbulkan pencemaran. Warga Pekalongan yang biasa memanfaatkan Kali Banger dan Asem Binatur untuk keperluan mandi dan mencuci, mengeluh bahwa air sungai tersebut tidak dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Apa lagi, saat musim kemarau tiba, air sungai berbau menyengat tajam. Kali Banger dan Asem Binatur merupakan dua di antara sungai-sungai di Pekalongan yang biasa digunakan untuk membuang limbah industri batik. Warga di sekitar Kali Banger mengungkapkan bahwa Kali Banger yang biasanya berair relatif jernih, sejak awal musim kemarau berubah menjadi hitam seiring dengan debit air yang menyusut tajam. Di samping warna hitam yang terlihat, baunya juga sangat menyengat. Limbah dari industri batik banyak yang dibuang ke sungai dan tidak mengalir ke laut akibat tidak ada gelontoran air dari hulu. Kondisi ini semakin parah di saat tidak ada hujan yang mengguyur karena limbah industri batik yang ada mengendap (P3M STAIN Pekalongan).
Selain sungai, pembuangan limbah cair industri batik juga ada yang disalurkan lewat selokan yang berujung ke saluran sanitasi pemukiman yang lebih besar (prasarana sanitasi pengumpulan limbah pemukiman). Karena itu, pada gilirannya, limbah cair tersebut akan tercampur dengan limbah cair rumah tangga dan akan mengumpul di tempat itu, bahkan limbah cair tersebut telah merembes ke tanah di sekitar pemukiman dan merusak air sumur warga (P3M STAIN Pekalongan).

Budaya Hukum yang Berlaku di Kalangan Pengusaha Batik dalam Rangka Menanggulangi Limbah Batik di Kota Pekalongan
Budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma dalam Surayya 2005). Adapun budaya hukum pengusaha batik di Kota Pekalongan terhadap limbah batiknya adalah sebagai berikut.
1.     Budaya bersikap cenderung masa bodoh dengan tidak memperdulikan terhadap lingkungan hidup sekitar dengan alasan yang paling penting adalah masalah pemenuhan kebutuhan hidup dari pada mengangkat isu tentang lingkungan hidup.
2.  Budaya menerima begitu saja terhadap apa yang terjadi menyangkut kondisi kualitas lingkungan yang buruk, pasrah dan menganggap biasa masalah pencemaran, karena sumber penghidupan mereka dari batik itu sendiri.
3.  Faktor pendidikan formal pengusaha batik yang masih rendah, sehingga terbentuk pola-pola interaksi sosial yang berwujud pada sikap, nilai-nilai, ide, dan budaya hukum yang kurang perduli, relatif pasrah, bersikap menerima begitu saja terhadap apa yang terjadi, bahkan ada kecenderungan bersifat kemasabodohan, tanpa mampu bersikap proaktif dan turut terlibat untuk memikirkan dan bertindak positif kearah perbaikan dan pemulihan kondisi lingkungan dan keperdulian terhadap lingkungan sekitar masih sangat kurang.
4.     Pemahaman para pengusaha batik mengenai Undang-Undang atau produk hukum lain yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup masih sangat minim dan ketidaktahuan mereka tentang bahaya racun limbah. Hal ini menyebabkan mereka cenderung tidak peduli.
5.  Budaya yang memandang remeh masalah pencemaran dan lebih mementingkan keuntungan bisnis batik semata, bahkan ada lelucon yang menyatakan bahwa bila air sungai yang mengalir di Kota Pekalongan jernih, berarti perekonomian masyarakat Pekalongan sedang jatuh. Sebaliknya, bila air sungai berwarn berarti perekonomian masyarakat Kota Pekalongan sedang baik.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Surayya (2005), umumnya pengusaha batik ini tidak memiliki unit pengolahan limbah pada rumah mereka, para pengusaha batik umumnya langsung membuang limbah mereka ke sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Biasanya para pengusaha batik ketika mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan batik mereka tidak menyisihkan untuk biaya pengolahan limbah melainkan untuk modal meningkatkan omset penjualan batik mereka.
Menurut Lothar Gundling (dalam Siahaan, 2004), masyarakat hendaknya berpartisipasi dalam tindaka perlindungan lingkungan, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut.
1.      Memberi informasi kepada pemerintah.
2.      Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan.
3.      Membantu perlindungan hukum.
4.      Mendemokratisasikan pengambilan keputusan.
Memantapkan kehidupan budaya hukum memerlukan dukungan baik dari pemegang kekuasaan negara (aparatur negara) maupun dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Melihat fenomena di atas menunjukkan bahwa norma-norma hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, ada ketidakpatuhan dari pelaku industri batik dengan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan lingkungan hidup, baik dalam pembuatan izin usaha maupun pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Pencemaran Air Limbah Batik di Kota Pekalongan
Dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah batik, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Kota Pekalongan telah melakukan beberapa kebijakan yang terkait dengan hal tersebut, baik dari aspek regulasi maupun aspek-aspek lainnya.
Dari aspek regulasi, pemerintah telah membuat berbagai Undang-Undang dan peraturan yang terkait dengan pencemaran lingkungan, antara lain adalah sebagai berikut.
1.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.      Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air.
3.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
4.      Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
5.  Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
6.      Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
7.  Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
8.      Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Meskipun berbagai undang-undang dan peraturan telah dibuat, namun belum efektif dalam mengatasi kasus pencemaran air limbah batik di Kota Pekalongan. Hal ini dapat disebabkan karena lemahnya penegakan hukum di Kota Pekalongan terkait dengan masalah pencemaran lingkungan.
Kebijakan lain yang dilakukan Pemerintah Pekalongan adalah memasukkan upaya penanganan limbah dalam APBD, yaitu sekitar Rp 500.000.000,00. Namun, berbagai pihak menilai bahwa  jumlah tersebut jelas tidak memadai untuk bisa menyelesaikan persoalan limbah batik yang mayoritas diderita oleh warga di banyak desa di Pekalongan. Untuk membangun satu buah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) saja dibutuhkan tidak kurang lebih dana sebanyak 1 milyar. Pemerintah telah membuat kebijakan dalam pembuatan sarana instalasi pengolahan air limbah. Pembuatan IPAL merupakan salah satu cara dalam mengolah limbah agar sesuai dengan baku mutu air yang ditetapkan guna memperbaiki  lingkungan yang  tertuang  dalam  SK  Menteri  Lingkungan  Hidup Nomor 112 Tahun 2003, yaitu dengan mengolah limbah batik agar air yang dikeluarkan dari hasil pembuangan tersebut dapat dibuang langsung ke sungai dan sehingga dapat terus terjaga kelestarian lingkungannya.
IPAL bersama telah dibangun Pemerintah Kota Pekalongan yang berlokasi di Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Barat. Namun, IPAL bersama ini hanya bisa menampung limbah sebanyak 400 m3 dari 700 m3 limbah yang dikeluarkan industri batik rumah tangga di wilayah tersebut per hari. Selebihnya limbah dibuang ke sungai (Abduh 2008).
Di sisi yang lain, para pengrajin batik, baik yang berskala rumah tangga (kecil) maupun yang berskala menengah dan besar, pada umumnya masih belum/tidak mau melengkapi dengan instalasi pemprosesan limbah buangan kimia cair tersebut. Alasan yang diajukan oleh para pengusaha batik ini adalah karena untuk membangun, mengoperasikan dan memelihara instalasi penanganan limbah ini diperlukan biaya yang sangat mahal yang tidak akan mungkin dapat dibiayai dan diatasi oleh perusahaan sendiri. Pernah muncul gagasan pentingnya membangun fasilitas penang­anan limbah yang dapat diman­faatkan secara bersama-sama (secara kolektif) oleh para pengusaha batik. Tetapi, problemnya adalah, untuk bisa melakukan itu mereka perlu merelokasi usaha batiknya ke lokasi yang dekat dengan bangunan yang dimaksud. Ternyata para pembatik enggan untuk memindahkan usahanya, dengan alasan bahwa kepindahan lokasi ini berimplikasi terhadap pindahnya operasi industri ke lokasi yang jauh dari domisili mereka maupun asal tenaga kerja yang mereka perlukan.
Pemerintah juga sudah berupaya memberikan surat teguran kepada para pengusaha batik, tetapi para pengusaha batik cenderung bersikap mengabaikan hal tersebut, mereka menganggap pencemaran suatu hal yang biasa.
Upaya lain yang telah dilakukan pemerintah adalah mengadakan Program penanganan dan pengelolaan limbah batik di Kota Pekalongan yang dilakukan oleh KLH (Kantor Lingkungan Hidup) dalam kurun waktu tahun 2004-2009. Kebijakan pemerintah yang lain adalah melakukan sosialisasi eko-efisiensi  pada para pengusaha batik, yaitu efisiensi dalam penggunaan bahan baku, air dan energi dalam proses produksi sehingga limbah produksi yang terbuang ke alam dapat diminimalkan. Namun, upaya ini juga belum efektif untuk menangani pencemaran limbah batik karena belum semua pengusaha batik menerapkan eko-efisiensi dalam proses produksinya. Pemerintah meyakini jika semua pengusaha batik secara serentak melaksanakan eko-efisiensi maka limbah akan berkurang bahkan bisa ditampung di IPAL Jenggot.