Jumat, 07 Maret 2014

Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Kamis, 06 Februari 2014

Kilas Balik Pemilu 1999 di Aceh Tengah

Sungguh rugi jika orang pada zaman sekarang memilih GOLPUT dari pada menggunakan hak pilihnya. Kita warga negara Indonesia jadi kita harus memilih pemimpin kita. Sungguh munafik jika anda tetap mengaku warga negara Indonesia, tinggal di Indonesia, makan dari hasil bumi Indonesia, kerja di lembaga pemerintah Indonesia dan menikmati gajinya, namun anda memilih GOLPUT. Setiap orang tak ada yang sempurna begitu juga pemimpin kita, dia manusia yang sama dengan kita tapi dia berani menjadi pemimpin negara ini yang sudah jelas-jelas itu tidak mudah. Dan atas keberaniannya itu dia tidak hanya diminta pertanggungjawabannya di dunia, tapi juga di akhirat.
Pemilu 1999 di Aceh masih membekas dalam pikiran saya. Saat itu umur saya masih 10 tahun. Saya memang belum mempunyai hak pilih tapi saya belajar dari pengalaman. Karena adanya reformasi, pemilu yang sejatinya akan diselenggarakan lagi pada tahun 2002 (5 tahun setelah 1997) maka diadakan di tahun 1999. Saat itu Provinsi Aceh sedang ramai-ramainya GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kehidupan politik sangat labil di sana, tidak terkecuali di Kabupaten Aceh Tengah tempat dimana saya dulu tinggal. Dari sekian banyak kabupaten dan kota di Provinsi Serambi Mekah itu, Aceh Tengah memang kabupaten yang paling aman dari kekerasan, namun tidak dengan politik. Tahun 1999 itu nyaris tidak ada pemilu di sana. Kekhawatiran akan bahaya GAM dihari pemilu terus menghantui masyarakat. Sehari sebelum pemilu tidak ada bilik-bilik tempat pemungutan suara, bahkan malamnya para tokoh masyarakat masih mengadakan rapat untuk memutuskan apakah akan ada pemilu atau tidak. Dari musyawarah itu memutuskan pemilu tetap berlangsung namun tidak di desa kami, Desa Wihnareh. Pemilu dilaksanakan di Desa Simpang Kelaping selaku ibukota Kecamatan Pegasing.
Keesokan harinya, berduyun-duyun masyarakat Kecamatan Pegasing menuju ke Desa Simpang Kelaping. Jarak Desa Wihnareh dengan Desa Simpang Kelaping cukup jauh, sekitar 3 Km namun mereka tetap menggunakan hak pilihnya meski beberapa dari mereka harus berjalan kaki. Kami para pendatang dari luar daerah, orang yang keamanannya terganggu tetap saja memperjuangkan hak pilih kami.
Berhubung lokasinya yang jauh dan faktor keamanan, kami selaku anak-anak juga turut serta ke Desa Simpang Kelaping. Untung saja, tetangga saya ada yang punya mobil sehingga kami bisa ikut menumpang. Sesampainya di Desa Simpang Kelaping, kami para anak-anak tinggal di dalam mobil dalam kondisi tertutup rawat, tak seorang pun dari kami boleh keluar. Rasa dag-dig-dug terus menghantui kami. Tempat parkir mobil ini  berjarak sekitar 200 meter dari TPS. Mobil itu berisi lebih dari 5 orang anak kecil: saya, kakak saya, adik saya yang masih bayi, dan 3 orang anak kecil lainnya.
Area persawahan bekan panen di Desa Simpang Kelaping pun di sulap menjadi area TPS massal. Ada beberapa TPS di sana. Masing-masing desa membangun satu TPS mereka. Suasana tegang menyelimuti masyarakat saat berlangsungnya pemungutan suara. Berbeda jauh dengan pemilu tahun 1997 dimana TPS masih berada di desa masing-masing.

Semoga cerita ini bermanfaat dan membuat Anda yang berencana GOLPUT untuk berpikir kembali.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Bencana Alam

Rencana Tata Ruang Wilayah adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang suatu wilayah. Selain terdapat RTRW nasional yang dibuat oleh pemerintah, setiap daerah juga wajib membuat RTRW daerah baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten dan diperbaharui setiap  dua puluh tahun. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 merupakan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. PP ini dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. RTRW Nasional mencakup pengertian dan penetapan berbagai kawasan sebagai perencanaan tata ruang wilayah nasional. Demikian halnya dengan RTRW Provinsi maupun kabupaten. Dalam RTRW tersebut juga akan ditetapkan peruntukan kawasan-kawasan tertentu. Namun, pada kenyataannya tata ruang di lapangan tidak sesuai dengan dokumen RTRW yang telah dibuat. Hal inilah yang menjadi salah satu terjadinya bencana alam yang tidak dikehendaki.
Sebagai contoh mari kita cermati Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang Tahun 2011-2031. Kabupaten Pemalang sebagai kota asal saya sehingga saya tahu persis keadaannya. RTRW Kabupaten Pemalang telah disusun secara baik dan rinci, termasuk pendekatan yang digunakan. Salah satu contohnya adalah mengenai sistem jaringan pengelolaan lingkungan.  Di dalam RTRW disebutkan secara rinci mengenai kawasan peruntukan pertambangan yang tertuang dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 80. Dalam pasal-pasal tersebut disebutkan jenis-jenis barang tambang beserta kawasan peruntukannya, yaitu nama kecamatan lengkap dengan nama desanya. Misalkan saja kawasan peruntukan pasir-batu (sirtu) dan tanah urug Kecamatan Pemalang berada di Desa Pegongsoran dan Surajaya. Pencantuman barang tambang beserta peruntukannya secara rinci sangat penting sekali mengingat kawasan Kabupaten Pemalang yang luas dan kaya akan barang tambang. Hal ini juga penting untuk menghindari terjadinya pertambangan atau penggalian ilegal.
Meskipun demikian, pada kenyataannya tahun 2014 ini juga masih banyak dijumpai adanya penggalian ilegal, terutama galian C di Kecamatan Belik. Dalam Pasal 69 disebutkan bahwa kawasan peruntukan pasir-batu (sirtu) dan tanah urug meliputi Kecamatan Pemalang, Petarukan, Bantar Bolang, Bodeh, Ampelgading, Randudongkal, dan Watu Kumpul. Dari isi Pasal 69 tersebut jelas tidak tercantum Kecamatan Belik sebagai kawasan peruntukan sirtu dan tanah urug. Namun, ketika kita melintasi jalan raya provinsi kolektor primer Randudongkal-Belik menuju ke Karangreja-Kabupaten Purbalingga, kita akan menjumpai banyaknya penambangan sirtu dan tanah urug di sepanjang jalan Kecamatan Belik, yaitu di Desa Bulakan, Beluk, dan Belik. Pada tahun-tahun sebelumnya telah sering diberitakan bahwa lokasi penambangan galian C (sirtu dan tanah urug) di daerah ini rawan akan bencana longsor (Suara Merdeka, 19 November 2009). Menurut masyarakat di desa tersebut, galian C di desanya itu sudah memiliki ijin. Menurut mereka, pertambangan sirtu dan tanah urug di desa mereka memberikan manfaat yang sangat besar karena tanah yang digali tersebut menjadi rata dan dapat dijadikan sawah produktif (Pemalang Bersatulah,  7 April 2009). Selain bertentangan dengan RTRW Kabupaten Pemalang, masalah pertambangan di Kecamatan Belik juga bertentangan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah. Dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah disebutkan bahwa: “kawasan peruntukan pertambangan" adalah kawasan yang diarahkan agar kegiatan pertambangan dapat berlangsung secara efisien dan produktif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Langkah Pemerintah Daerah untuk tidak mencantumkan Kecamatan Belik sebagai kawasan peruntukan sirtu dan tanah urug mungkin sudah tepat untuk menghindari terjadinya bencana longsor, namun juga perlu dipertegas dengan memberikan disinsentif bagi para penambang liar yang saat ini masih beroperasi.
Selain rawan bencana longsor, pembukaan lahan untuk pertambangan juga mengurangi daerah resapan air karena hilangnya pohon-pohon yang berfungsi untuk mengikat air agar tidak hanya mengalir di permukaan tanah. Ini jugalah yang menjadi penyebab banjir bagi daerah bawahnya karena daerah atas yang seharusnya bisa menjadi kawasan lindung beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan.
Isu lain yang ditemui dilapangan adalah mengenai sempadan pantai. Sempadan pantai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 ditetapkan 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Berdasarkan survei lapangan yang dilakukan pada tahun 2013 lalu, dapat diketahui bahwa masih banyak bangunan yang berjarak kurang dari 100 meter dari bibir pantai. Bukan hanya warung-warung makan, namun juga rumah-rumah penduduk di sekitar pantai, seperti yang ada di Kelurahan Sugihwaras, Kecamatan Pemalang. Padahal, sesuai dengan Pasal 47 huruf a, Kelurahan Sugihwaras termasuk salah satu kawasan rawan gelombang pasang dan abrasi. Dalam pasal tersebut juga disebutkan desa/kelurahan lainnya yang juga termasuk dalam kawasan rawan gelombang pasang dan abrasi. Mengingat bahaya gelombang pasang, abrasi, dan global warming yang menyebabkan semakin tingginya permukaan air laut, maka diperlukan adanya sosialisasi ataupun pemberian insentif dan didisinsetif bagi masyarakat pesisir pantai Kabupaten Pemalang guna menghindari hal tersebut.
Selain mengenai sempadan pantai, sempadan sungai tampaknya juga perlu diperhatikan. Dalam Pasal 39 disebutkan bahwa sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 (lima puluh) meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar permukiman; dan sempadan sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 (sepuluh) – 15 (lima belas) meter. Namun, berdasarkan survei di lapangan dapat diketahui bahwa masih banyak penduduk yang bermukim di sekitar sungai dengan jarak kurang dari 50 meter, bahkan hanya sekitar 5 meter saja dari sungai. Padahal sesuai dengan isi Pasal 48, disebutkan bahwa Kecamatan Pemalang adalah salah satu kawasan rawan banjir. Jadi jangan heran apabila hujan turun dengan lebat daerah-daerah di sekitar sempadan sungai kebanjiran karena seharusnya mereka tidak boleh bermukim di sempadan sungai sesuai jarak yang telah ditentukan. Namun lagi-lagi ini juga karena masalah kurangnya sosialisasi tentang sempadan sungai dan sempadan pantai.
Berdasarkan hal tersebut dapat kita ketahui bersama bahwa ketidakoptimalan penerapan RTRW yang telah disusun menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir, seperti banjir yang terjadi di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah beberapa hari yang lalu.

Banjir, Salah Siapa?

Akhir-akhir ini Indonesia sedang dilanda bencana alam dan yang paling fenomenal adalah bencana banjir. Banjir telah melanda ibukota Jakarta, bahkan hampir setiap tahun. Usaha menebar garam di daerah pantura untuk mempercepat terjadinya hujan ternyata sia-sia karena justru memicu terjadinya banjir di daerah lain seperti Jepara, Pati, Demak, Semarang, Kendal, Pekalongan, dan Pemalang. Milyaran dana telah dibuang dengan sia-sia di lautan. Banjir telah memakan puluhan korban jiwa dan ribuan orang harus mengungsi karenanya. Banjir juga telah menimbulkan kerugian dari sektor ekonomi. Lihat saja, akibat banjir beberapa pasar harus tutup sehingga tidak ada aktivitas jual-beli di sana. Banjir yang menggenangi beberapa titik di jalur pantura Pulau Jawa telah menyebabkan kemacetan yang juga berdampak pada transportasi kebutuhan hidup masyarakat. Entah sudah beberapa milyar kerugian yang diakibatkan oleh banjir. Pertanyaannya siapakah yang salah? Pemerintah? Masyarakat? atau alam itu sendiri?
Masyarakat sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya banjir karena sering membuang sampah sembarangan dan menebang pohon secara liar. Namun apakah betul itu sepenuhnya kesalahan mereka? Tentu saja tidak. Di sisi lain, pemerintah dengan kemampuannya telah berupaya mengurangi terjadinya banjir melalui beberapa kebijakannya. Banyak peraturan dan perundang-undangan yang berhubungan dengan lingkungan telah di buat dan berbagai kebijakan lainnya namun banjir tetap saja terjadi.
Beberapa perundang-undangan yang berhubungan dengan lingkungan adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Pemerintah Nomo 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW Nasional), Peraturan Pemerintah PU Nomor 63 Tahun 1993 tentang Sempadan Sungai, dan produk hukum lainnya. Berbagai peraturan dan perundang-undangan tersebut telah dibuat, isinya lengkap dengan pengertian, tujuan, hak, kewajiban, sampai dengan sanksi-sanksinya namun sayang penerapannya masih kurang optimal. Permasalahan utama adalah kurangnya sosialisasi antara pemerintah dengan masyarakat mengenai produk hukum yang telah dibuat. Masyarakat sendiri banyak yang tidak tahu ada undang-undang tersebut, apalagi kalau ditanya isi dan sanksinya. Saya sendiri juga tahu setelah saya menjadi mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan, sebelumnya saya tidak tahu sama sekali, bagaimana dengan orang yang awam?