Dampak Limbah Batik
Pekalongan
Dampak limbah batik terhadap lingkungan telah
menimbulkan pencemaran. Warga Pekalongan yang biasa memanfaatkan Kali Banger
dan Asem Binatur untuk keperluan mandi dan mencuci, mengeluh bahwa air sungai tersebut
tidak dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Apa lagi, saat musim kemarau
tiba, air sungai berbau menyengat tajam. Kali Banger dan Asem Binatur merupakan
dua di antara sungai-sungai di Pekalongan yang biasa digunakan untuk membuang
limbah industri batik. Warga di sekitar Kali Banger mengungkapkan bahwa Kali
Banger yang biasanya berair relatif jernih, sejak awal musim kemarau berubah
menjadi hitam seiring dengan debit air yang menyusut tajam. Di samping warna
hitam yang terlihat, baunya juga sangat menyengat. Limbah dari industri batik
banyak yang dibuang ke sungai dan tidak mengalir ke laut akibat tidak ada
gelontoran air dari hulu. Kondisi ini semakin parah di saat tidak ada hujan
yang mengguyur karena limbah industri batik yang ada mengendap (P3M STAIN
Pekalongan).
Selain sungai, pembuangan limbah cair industri batik juga
ada yang disalurkan lewat selokan yang berujung ke saluran sanitasi pemukiman
yang lebih besar (prasarana sanitasi pengumpulan limbah pemukiman). Karena itu,
pada gilirannya, limbah cair tersebut akan tercampur dengan limbah cair rumah
tangga dan akan mengumpul di tempat itu, bahkan limbah cair tersebut telah
merembes ke tanah di sekitar pemukiman dan merusak air sumur warga (P3M STAIN
Pekalongan).
Budaya Hukum yang
Berlaku di Kalangan Pengusaha Batik dalam Rangka Menanggulangi Limbah Batik di
Kota Pekalongan
Budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota
masyarakat yang menggambarkan tanggapan yang sama terhadap kehidupan hukum yang
dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma dalam Surayya 2005). Adapun budaya
hukum pengusaha batik di Kota Pekalongan terhadap limbah batiknya adalah
sebagai berikut.
1. Budaya bersikap cenderung masa bodoh dengan tidak memperdulikan terhadap
lingkungan hidup sekitar dengan alasan yang paling penting adalah masalah
pemenuhan kebutuhan hidup dari pada mengangkat isu tentang lingkungan hidup.
2. Budaya menerima begitu saja terhadap apa yang terjadi menyangkut kondisi
kualitas lingkungan yang buruk, pasrah dan menganggap biasa masalah pencemaran,
karena sumber penghidupan mereka dari batik itu sendiri.
3. Faktor pendidikan formal pengusaha batik yang masih rendah, sehingga
terbentuk pola-pola interaksi sosial yang berwujud pada sikap, nilai-nilai,
ide, dan budaya hukum yang kurang perduli, relatif pasrah, bersikap menerima
begitu saja terhadap apa yang terjadi, bahkan ada kecenderungan bersifat
kemasabodohan, tanpa mampu bersikap proaktif dan turut terlibat untuk
memikirkan dan bertindak positif kearah perbaikan dan pemulihan kondisi
lingkungan dan keperdulian terhadap lingkungan sekitar masih sangat kurang.
4. Pemahaman para pengusaha batik mengenai Undang-Undang atau produk hukum
lain yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup masih sangat minim dan
ketidaktahuan mereka tentang bahaya racun limbah. Hal ini menyebabkan mereka
cenderung tidak peduli.
5. Budaya yang memandang remeh masalah pencemaran dan lebih mementingkan
keuntungan bisnis batik semata, bahkan ada lelucon yang menyatakan bahwa bila
air sungai yang mengalir di Kota Pekalongan jernih, berarti perekonomian
masyarakat Pekalongan sedang jatuh. Sebaliknya, bila air sungai berwarn berarti
perekonomian masyarakat Kota Pekalongan sedang baik.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Surayya (2005), umumnya
pengusaha batik ini tidak memiliki unit pengolahan limbah pada rumah mereka,
para pengusaha batik umumnya langsung membuang limbah mereka ke sungai tanpa
melalui pengolahan terlebih dahulu. Biasanya para pengusaha batik ketika
mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan batik mereka tidak menyisihkan
untuk biaya pengolahan limbah melainkan untuk modal meningkatkan omset penjualan
batik mereka.
Menurut Lothar Gundling (dalam Siahaan, 2004), masyarakat hendaknya
berpartisipasi dalam tindaka perlindungan lingkungan, yaitu dalam hal-hal
sebagai berikut.
1. Memberi informasi kepada pemerintah.
2. Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan.
3. Membantu perlindungan hukum.
4. Mendemokratisasikan pengambilan keputusan.
Memantapkan kehidupan budaya hukum memerlukan dukungan baik dari
pemegang kekuasaan negara (aparatur negara) maupun dukungan dari seluruh lapisan
masyarakat. Melihat fenomena di atas menunjukkan bahwa norma-norma hukum yang
mengatur pengelolaan lingkungan hidup tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya,
ada ketidakpatuhan dari pelaku industri batik dengan tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan lingkungan hidup, baik dalam pembuatan izin usaha maupun
pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Kebijakan
Pemerintah Dalam Menangani Pencemaran Air Limbah Batik di Kota Pekalongan
Dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah
batik, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Kota Pekalongan telah
melakukan beberapa kebijakan yang terkait dengan hal tersebut, baik dari aspek regulasi
maupun aspek-aspek lainnya.
Dari aspek regulasi, pemerintah telah membuat berbagai Undang-Undang dan
peraturan yang terkait dengan pencemaran lingkungan, antara lain adalah sebagai
berikut.
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air.
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air.
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran
Air.
Meskipun berbagai undang-undang dan peraturan telah dibuat, namun belum
efektif dalam mengatasi kasus pencemaran air limbah batik di Kota Pekalongan.
Hal ini dapat disebabkan karena lemahnya penegakan hukum di Kota Pekalongan
terkait dengan masalah pencemaran lingkungan.
Kebijakan lain yang dilakukan Pemerintah Pekalongan adalah memasukkan upaya
penanganan limbah dalam APBD, yaitu sekitar Rp 500.000.000,00. Namun, berbagai
pihak menilai bahwa jumlah tersebut
jelas tidak memadai untuk bisa menyelesaikan persoalan limbah batik yang
mayoritas diderita oleh warga di banyak desa di Pekalongan. Untuk membangun
satu buah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) saja dibutuhkan tidak kurang
lebih dana sebanyak 1 milyar. Pemerintah telah membuat kebijakan dalam pembuatan sarana instalasi pengolahan air limbah. Pembuatan IPAL merupakan salah satu cara
dalam mengolah limbah agar sesuai dengan baku
mutu air yang ditetapkan
guna
memperbaiki
lingkungan yang
tertuang
dalam SK
Menteri
Lingkungan Hidup
Nomor 112 Tahun 2003, yaitu dengan mengolah limbah
batik agar air yang
dikeluarkan dari hasil
pembuangan tersebut dapat dibuang langsung ke sungai
dan sehingga dapat
terus terjaga kelestarian lingkungannya.
IPAL bersama telah dibangun Pemerintah Kota Pekalongan yang berlokasi di
Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Barat. Namun, IPAL bersama ini hanya
bisa menampung limbah sebanyak 400 m3 dari 700 m3 limbah
yang dikeluarkan industri batik rumah tangga di wilayah tersebut per hari.
Selebihnya limbah dibuang ke sungai (Abduh 2008).
Di
sisi yang lain, para pengrajin batik, baik yang berskala rumah tangga (kecil)
maupun yang berskala menengah dan besar, pada umumnya masih belum/tidak mau
melengkapi dengan instalasi pemprosesan limbah buangan kimia cair tersebut.
Alasan yang diajukan oleh para pengusaha batik ini adalah karena untuk
membangun, mengoperasikan dan memelihara instalasi penanganan limbah ini
diperlukan biaya yang sangat mahal yang tidak akan mungkin dapat dibiayai dan
diatasi oleh perusahaan sendiri. Pernah muncul gagasan pentingnya membangun
fasilitas penanganan limbah yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama
(secara kolektif) oleh para pengusaha batik. Tetapi, problemnya adalah, untuk
bisa melakukan itu mereka perlu merelokasi usaha batiknya ke lokasi yang dekat
dengan bangunan yang dimaksud. Ternyata para pembatik enggan untuk memindahkan
usahanya, dengan alasan bahwa kepindahan lokasi ini berimplikasi terhadap
pindahnya operasi industri ke lokasi yang jauh dari domisili mereka maupun asal
tenaga kerja yang mereka perlukan.
Pemerintah juga sudah berupaya memberikan surat teguran kepada para
pengusaha batik, tetapi para pengusaha batik cenderung bersikap mengabaikan hal
tersebut, mereka menganggap pencemaran suatu hal yang biasa.
Upaya lain yang telah dilakukan pemerintah adalah mengadakan Program
penanganan dan pengelolaan limbah batik di Kota Pekalongan yang dilakukan oleh
KLH (Kantor Lingkungan Hidup) dalam kurun waktu tahun 2004-2009. Kebijakan
pemerintah yang lain adalah melakukan sosialisasi eko-efisiensi pada para pengusaha batik, yaitu efisiensi dalam
penggunaan bahan baku, air dan energi dalam proses produksi sehingga limbah
produksi yang terbuang ke alam dapat diminimalkan. Namun, upaya ini juga belum efektif untuk menangani pencemaran limbah
batik karena belum semua pengusaha batik menerapkan eko-efisiensi dalam proses
produksinya. Pemerintah meyakini jika semua pengusaha batik secara serentak
melaksanakan eko-efisiensi maka limbah akan berkurang bahkan bisa ditampung di
IPAL Jenggot.