Kamis, 06 Februari 2014

Kilas Balik Pemilu 1999 di Aceh Tengah

Sungguh rugi jika orang pada zaman sekarang memilih GOLPUT dari pada menggunakan hak pilihnya. Kita warga negara Indonesia jadi kita harus memilih pemimpin kita. Sungguh munafik jika anda tetap mengaku warga negara Indonesia, tinggal di Indonesia, makan dari hasil bumi Indonesia, kerja di lembaga pemerintah Indonesia dan menikmati gajinya, namun anda memilih GOLPUT. Setiap orang tak ada yang sempurna begitu juga pemimpin kita, dia manusia yang sama dengan kita tapi dia berani menjadi pemimpin negara ini yang sudah jelas-jelas itu tidak mudah. Dan atas keberaniannya itu dia tidak hanya diminta pertanggungjawabannya di dunia, tapi juga di akhirat.
Pemilu 1999 di Aceh masih membekas dalam pikiran saya. Saat itu umur saya masih 10 tahun. Saya memang belum mempunyai hak pilih tapi saya belajar dari pengalaman. Karena adanya reformasi, pemilu yang sejatinya akan diselenggarakan lagi pada tahun 2002 (5 tahun setelah 1997) maka diadakan di tahun 1999. Saat itu Provinsi Aceh sedang ramai-ramainya GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kehidupan politik sangat labil di sana, tidak terkecuali di Kabupaten Aceh Tengah tempat dimana saya dulu tinggal. Dari sekian banyak kabupaten dan kota di Provinsi Serambi Mekah itu, Aceh Tengah memang kabupaten yang paling aman dari kekerasan, namun tidak dengan politik. Tahun 1999 itu nyaris tidak ada pemilu di sana. Kekhawatiran akan bahaya GAM dihari pemilu terus menghantui masyarakat. Sehari sebelum pemilu tidak ada bilik-bilik tempat pemungutan suara, bahkan malamnya para tokoh masyarakat masih mengadakan rapat untuk memutuskan apakah akan ada pemilu atau tidak. Dari musyawarah itu memutuskan pemilu tetap berlangsung namun tidak di desa kami, Desa Wihnareh. Pemilu dilaksanakan di Desa Simpang Kelaping selaku ibukota Kecamatan Pegasing.
Keesokan harinya, berduyun-duyun masyarakat Kecamatan Pegasing menuju ke Desa Simpang Kelaping. Jarak Desa Wihnareh dengan Desa Simpang Kelaping cukup jauh, sekitar 3 Km namun mereka tetap menggunakan hak pilihnya meski beberapa dari mereka harus berjalan kaki. Kami para pendatang dari luar daerah, orang yang keamanannya terganggu tetap saja memperjuangkan hak pilih kami.
Berhubung lokasinya yang jauh dan faktor keamanan, kami selaku anak-anak juga turut serta ke Desa Simpang Kelaping. Untung saja, tetangga saya ada yang punya mobil sehingga kami bisa ikut menumpang. Sesampainya di Desa Simpang Kelaping, kami para anak-anak tinggal di dalam mobil dalam kondisi tertutup rawat, tak seorang pun dari kami boleh keluar. Rasa dag-dig-dug terus menghantui kami. Tempat parkir mobil ini  berjarak sekitar 200 meter dari TPS. Mobil itu berisi lebih dari 5 orang anak kecil: saya, kakak saya, adik saya yang masih bayi, dan 3 orang anak kecil lainnya.
Area persawahan bekan panen di Desa Simpang Kelaping pun di sulap menjadi area TPS massal. Ada beberapa TPS di sana. Masing-masing desa membangun satu TPS mereka. Suasana tegang menyelimuti masyarakat saat berlangsungnya pemungutan suara. Berbeda jauh dengan pemilu tahun 1997 dimana TPS masih berada di desa masing-masing.

Semoga cerita ini bermanfaat dan membuat Anda yang berencana GOLPUT untuk berpikir kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar