Sungguh rugi jika orang pada zaman sekarang memilih GOLPUT dari pada
menggunakan hak pilihnya. Kita warga negara Indonesia jadi kita harus memilih
pemimpin kita. Sungguh munafik jika anda tetap mengaku warga negara Indonesia,
tinggal di Indonesia, makan dari hasil bumi Indonesia, kerja di lembaga
pemerintah Indonesia dan menikmati gajinya, namun anda memilih GOLPUT. Setiap
orang tak ada yang sempurna begitu juga pemimpin kita, dia manusia yang sama
dengan kita tapi dia berani menjadi pemimpin negara ini yang sudah jelas-jelas itu tidak mudah. Dan atas
keberaniannya itu dia tidak hanya diminta pertanggungjawabannya di dunia, tapi
juga di akhirat.
Pemilu 1999 di Aceh masih membekas dalam pikiran saya. Saat itu
umur saya masih 10 tahun. Saya memang belum mempunyai hak pilih tapi saya belajar
dari pengalaman. Karena adanya reformasi, pemilu yang sejatinya akan
diselenggarakan lagi pada tahun 2002 (5 tahun setelah 1997) maka diadakan di
tahun 1999. Saat itu Provinsi Aceh sedang ramai-ramainya GAM (Gerakan Aceh
Merdeka). Kehidupan politik sangat labil di sana, tidak terkecuali di Kabupaten
Aceh Tengah tempat dimana saya dulu tinggal. Dari sekian banyak kabupaten dan
kota di Provinsi Serambi Mekah itu, Aceh Tengah memang kabupaten yang paling
aman dari kekerasan, namun tidak dengan politik. Tahun 1999 itu nyaris tidak
ada pemilu di sana. Kekhawatiran akan bahaya GAM dihari pemilu terus menghantui
masyarakat. Sehari sebelum pemilu tidak ada bilik-bilik tempat pemungutan
suara, bahkan malamnya para tokoh masyarakat masih mengadakan rapat untuk memutuskan
apakah akan ada pemilu atau tidak. Dari musyawarah itu memutuskan pemilu tetap
berlangsung namun tidak di desa kami, Desa Wihnareh. Pemilu dilaksanakan di
Desa Simpang Kelaping selaku ibukota Kecamatan Pegasing.
Keesokan harinya, berduyun-duyun masyarakat Kecamatan Pegasing
menuju ke Desa Simpang Kelaping. Jarak Desa Wihnareh dengan Desa Simpang
Kelaping cukup jauh, sekitar 3 Km namun mereka tetap menggunakan hak pilihnya
meski beberapa dari mereka harus berjalan kaki. Kami para pendatang dari luar
daerah, orang yang keamanannya terganggu tetap saja memperjuangkan hak pilih
kami.
Berhubung lokasinya yang jauh dan faktor keamanan, kami selaku
anak-anak juga turut serta ke Desa Simpang Kelaping. Untung saja, tetangga saya
ada yang punya mobil sehingga kami bisa ikut menumpang. Sesampainya di Desa
Simpang Kelaping, kami para anak-anak tinggal di dalam mobil dalam kondisi
tertutup rawat, tak seorang pun dari kami boleh keluar. Rasa dag-dig-dug terus
menghantui kami. Tempat parkir mobil ini berjarak sekitar 200 meter dari TPS. Mobil itu
berisi lebih dari 5 orang anak kecil: saya, kakak saya, adik saya yang masih
bayi, dan 3 orang anak kecil lainnya.
Area persawahan bekan panen di Desa Simpang Kelaping pun di sulap
menjadi area TPS massal. Ada beberapa TPS di sana. Masing-masing desa membangun
satu TPS mereka. Suasana tegang menyelimuti masyarakat saat berlangsungnya
pemungutan suara. Berbeda jauh dengan pemilu tahun 1997 dimana TPS masih berada
di desa masing-masing.
Semoga cerita ini bermanfaat dan membuat Anda yang berencana
GOLPUT untuk berpikir kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar