Rencana Tata Ruang Wilayah adalah arahan kebijakan dan strategi
pemanfaatan ruang suatu wilayah. Selain terdapat RTRW nasional yang dibuat oleh
pemerintah, setiap daerah juga wajib membuat RTRW daerah baik di tingkat provinsi
maupun di tingkat kabupaten dan diperbaharui setiap dua puluh tahun. Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 merupakan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
PP ini dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. RTRW Nasional mencakup pengertian dan penetapan berbagai kawasan sebagai
perencanaan tata ruang wilayah nasional. Demikian halnya dengan RTRW Provinsi maupun
kabupaten. Dalam RTRW tersebut juga akan ditetapkan peruntukan kawasan-kawasan tertentu.
Namun, pada kenyataannya tata ruang di lapangan tidak sesuai dengan dokumen
RTRW yang telah dibuat. Hal inilah yang menjadi salah satu terjadinya bencana
alam yang tidak dikehendaki.
Sebagai contoh mari kita cermati Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang Tahun 2011-2031. Kabupaten
Pemalang sebagai kota asal saya sehingga saya tahu persis keadaannya. RTRW
Kabupaten Pemalang telah disusun secara baik dan rinci, termasuk pendekatan
yang digunakan. Salah satu contohnya adalah mengenai sistem jaringan
pengelolaan lingkungan. Di dalam RTRW disebutkan
secara rinci mengenai kawasan peruntukan pertambangan yang tertuang dalam Pasal
67 sampai dengan Pasal 80. Dalam pasal-pasal tersebut disebutkan jenis-jenis
barang tambang beserta kawasan peruntukannya, yaitu nama kecamatan lengkap
dengan nama desanya. Misalkan saja kawasan peruntukan pasir-batu (sirtu) dan
tanah urug Kecamatan Pemalang berada di Desa Pegongsoran dan Surajaya.
Pencantuman barang tambang beserta peruntukannya secara rinci sangat penting
sekali mengingat kawasan Kabupaten Pemalang yang luas dan kaya akan barang
tambang. Hal ini juga penting untuk menghindari terjadinya pertambangan atau
penggalian ilegal.
Meskipun
demikian, pada kenyataannya tahun 2014 ini juga masih banyak dijumpai adanya
penggalian ilegal, terutama galian C di Kecamatan Belik. Dalam Pasal 69
disebutkan bahwa kawasan peruntukan pasir-batu (sirtu) dan tanah urug meliputi
Kecamatan Pemalang, Petarukan, Bantar Bolang, Bodeh, Ampelgading, Randudongkal,
dan Watu Kumpul. Dari isi Pasal 69 tersebut jelas tidak tercantum Kecamatan
Belik sebagai kawasan peruntukan sirtu dan tanah urug. Namun, ketika kita
melintasi jalan raya provinsi kolektor primer Randudongkal-Belik menuju ke Karangreja-Kabupaten
Purbalingga, kita akan menjumpai banyaknya penambangan sirtu dan tanah urug di
sepanjang jalan Kecamatan Belik, yaitu di Desa Bulakan, Beluk, dan Belik. Pada
tahun-tahun sebelumnya telah sering diberitakan bahwa lokasi penambangan galian
C (sirtu dan tanah urug) di daerah ini rawan akan bencana longsor (Suara
Merdeka, 19 November 2009). Menurut masyarakat di desa tersebut, galian C di
desanya itu sudah memiliki ijin. Menurut mereka, pertambangan sirtu dan tanah
urug di desa mereka memberikan manfaat yang sangat besar karena tanah yang
digali tersebut menjadi rata dan dapat dijadikan sawah produktif (Pemalang
Bersatulah, 7 April 2009). Selain
bertentangan dengan RTRW Kabupaten Pemalang, masalah pertambangan di Kecamatan
Belik juga bertentangan dengan RTRW Provinsi
Jawa Tengah.
Dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah disebutkan bahwa: “kawasan peruntukan pertambangan" adalah kawasan yang diarahkan agar kegiatan pertambangan dapat berlangsung secara efisien dan produktif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Langkah Pemerintah Daerah untuk tidak
mencantumkan Kecamatan Belik sebagai kawasan peruntukan sirtu dan tanah urug
mungkin sudah tepat untuk menghindari terjadinya bencana longsor, namun juga
perlu dipertegas dengan memberikan disinsentif bagi para penambang liar yang
saat ini masih beroperasi.
Selain rawan
bencana longsor, pembukaan lahan untuk pertambangan juga mengurangi daerah
resapan air karena hilangnya pohon-pohon yang berfungsi untuk mengikat air agar
tidak hanya mengalir di permukaan tanah. Ini jugalah yang menjadi penyebab
banjir bagi daerah bawahnya karena daerah atas yang seharusnya bisa menjadi
kawasan lindung beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan.
Isu lain
yang ditemui dilapangan adalah mengenai sempadan pantai. Sempadan pantai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 ditetapkan 100
(seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Berdasarkan survei
lapangan yang dilakukan pada tahun 2013 lalu, dapat diketahui bahwa masih banyak
bangunan yang berjarak kurang dari 100 meter dari bibir pantai. Bukan hanya
warung-warung makan, namun juga rumah-rumah penduduk di sekitar pantai, seperti
yang ada di Kelurahan Sugihwaras, Kecamatan Pemalang. Padahal, sesuai dengan
Pasal 47 huruf a, Kelurahan Sugihwaras termasuk salah satu kawasan rawan
gelombang pasang dan abrasi. Dalam pasal tersebut juga disebutkan
desa/kelurahan lainnya yang juga termasuk dalam kawasan rawan gelombang pasang
dan abrasi. Mengingat bahaya gelombang pasang, abrasi, dan global warming yang menyebabkan semakin tingginya permukaan air
laut, maka diperlukan adanya sosialisasi ataupun pemberian insentif dan
didisinsetif bagi masyarakat pesisir pantai Kabupaten Pemalang guna menghindari
hal tersebut.
Selain mengenai sempadan pantai, sempadan sungai tampaknya juga perlu
diperhatikan. Dalam Pasal 39 disebutkan bahwa sempadan sungai
sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari kiri kanan sungai besar dan 50
(lima puluh) meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar permukiman; dan
sempadan sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang cukup untuk
dibangun jalan inspeksi antara 10 (sepuluh) – 15 (lima belas) meter. Namun,
berdasarkan survei di lapangan dapat diketahui bahwa masih banyak penduduk yang
bermukim di sekitar sungai dengan jarak kurang dari 50 meter, bahkan hanya
sekitar 5 meter saja dari sungai. Padahal sesuai dengan isi Pasal 48,
disebutkan bahwa Kecamatan Pemalang adalah salah satu kawasan rawan banjir. Jadi jangan heran apabila hujan turun dengan lebat daerah-daerah di sekitar sempadan sungai kebanjiran karena seharusnya mereka tidak boleh bermukim di sempadan sungai sesuai jarak yang telah ditentukan. Namun lagi-lagi ini juga karena masalah kurangnya sosialisasi tentang sempadan sungai dan sempadan pantai.
Berdasarkan hal tersebut dapat kita
ketahui bersama bahwa ketidakoptimalan penerapan RTRW yang telah disusun
menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir, seperti banjir yang terjadi di
Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah beberapa hari yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar